Ilustrasi seseorang yang datang terlambat menuju kampus. (Ilustrasi: Muhammad Dwi Septian/SM)
Waktu menjadi hal yang krusial dan perlu menjadi perhatian dalam menjalani berbagai aktivitas, sebab waktu merupakan dimensi temporal yang menjadi penanda sebuah sejarah atau peristiwa. Sayangnya, sebagian orang seringkali tidak menghargai pentingnya waktu. Sikap tersebut semakin melekat dan membudaya di kalangan masyarakat Indonesia hingga melahirkan istilah budaya jam karet.
Hingga saat ini, masih banyak di antara mereka yang menganggap bahwa waktu adalah benda elastis dan bisa diputar kembali. Dengan sikap ini, tidak jarang kita menemukan kasus terlambat di setiap kegiatan atau janji. Terlambat memang menyebalkan tapi masih bikin ketagihan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) budaya adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar diubah. Sedangkan, jam karet sendiri memiliki arti kiasan dalam konsep elastisitas waktu yang dapat diundur dan bisa mengulur.
Munculnya istilah jam karet sebenarnya berawal dari perilaku para pengusaha karet Indonesia pada zaman kolonial Belanda. Siti Lailatul Hajar, dalam jurnalnya yang berjudul “Jam Karet dan Tradisi yang Membudaya” bercerita jika pemerintah Hindia Belanda pernah mengundang para pengusaha karet, namun pengusaha tersebut datang terlambat karena tidak bisa membaca jam sakunya.
Selain faktor sejarah, kehadiran budaya jam karet di Indonesia juga tidak terlepas dari pandangan masyarakatnya terhadap konsep waktu. Terdapat dua jenis teori konsep waktu yaitu polikronik dan monokronik.
Konsep polikronik adalah teori yang menganggap waktu akan terulang kembali. Sedangkan, monokronik sebaliknya, teori ini menganggap bahwa waktu tidak dapat terulang kembali.
Sebagian besar masyarakat Indonesia sendiri menganut konsep waktu polikronik. Hal ini dibuktikan dalam jurnal Muhammad Parhan dkk. yang berjudul “Orang Indonesia dan Jam Karet: Budaya Tidak Tepat Waktu dalam Pandangan Islam” Tahun 2022. Dalam jurnalnya disebutkan jika masyarakat Indonesia cenderung selalu menunda pekerjaan karena telah menganut konsep polikronik.
Penundaan pekerjaan dan konsep waktu polikronik adalah kombinasi yang melahirkan sifat toleran terhadap waktu. Seorang budayawan Sunda yang mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan, Budi Dalton juga menegaskan istilah jam karet memang semakin menyuburkan mindset untuk mentoleransi waktu dan memicu hal yang sifatnya pelanggaran menjadi toleran.
“Perkembangan teknologi juga sangat berpengaruh, karena kalau zaman dulu sebelum alat komunikasi kita hanya menggunakan kekuatan ikatan batin dengan seseorang. Namun dengan berkembangnya teknologi membuat kita bisa mentoleransi kebiasaan ngaret karena menganggap bisa menggunakan berbagai platform yang ada di media sosial.” Tuturnya saat ditemui pada Selasa (21/02).
Budaya Jam Karet yang Kian Melekat
Selain kelekatan pandangan masyarakatnya terhadap konsep waktu, perkembangan budaya jam karet juga dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan eksternal. Kedua faktor tersebut yaitu berasal dari faktor psikologis dan faktor lingkungan.
Secara psikologis, ternyata karakter yang ada dalam diri seseorang bisa menjadi pemicu budaya jam karet. Menurut dosen Fakultas Psikologi di Universitas Islam Bandung (Unisba), Dinda Dwarawati, secara internal ada tiga faktor yang dapat memicu budaya jam karet. Pertama, seseorang menganggap bahwa waktu tidak penting. Kedua, memiliki karakter yang perfeksionis. Ketiga, memiliki karakter yang suka melanggar.
“Ketiga faktor tersebut bisa muncul karena pada dasarnya mereka kurang menghargai waktu, meskipun seseorang memiliki jam kerja fleksibel tetapi tidak menghargai waktu tetap saja akan mepet dan terlambat.” Jelasnya saat diwawancarai pada Minggu (26/02).
Selain karakter, kondisi seseorang yang prokrastinasi atau seseorang yang selalu menunda-nunda dalam mengerjakan sesuatu juga menjadi penyebab lainnya. Menurutnya, hal pertama seharusnya yang diselesaikan adalah kondisi prokrastinasinya sendiri, sebab prokrastinasi bisa menjadi penyebab dasar terjadinya budaya jam karet.
Banyak hal dan pencapaian yang tertunda karena prokrastinasi. Belum lagi kondisi lingkungan yang tidak jarang mendukung seseorang untuk menunda pekerjaannya. Veranita Pandia, Psikiater di Rumah Sakit Hasan Sadikin dan Rumah Sakit Hermina Pasteur juga memberikan pandangan terkait faktor penyebab budaya jam karet ini. Menurutnya, ada dua faktor eksternal yang dapat memunculkan budaya jam karet, yaitu pola asuh sejak kecil dan kondisi lingkungan.
Pola asuh sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter seseorang, termasuk menghargai waktu. Disamping itu, kondisi lingkungan seperti situasi yang tidak nyaman, tidak ada konsekuensi, ataupun ancaman, juga memicu perasaan malas untuk datang lebih cepat.
“Misalnya sejak kecil tidak diajarkan untuk mengucap terima kasih, meminta izin, meminta maaf. Nah jika tidak ada reward dan punishment maka perilaku-perilaku seperti itu dapat berkembang setelah dewasa dan merasa terbiasa bahwa itu bukan hal yang salah.” Ungkapnya saat ditemui di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) pada Jumat (24/02).
Senada dengan Antropolog sosial, Mahesa El Gasani yang menilai jika manusia itu sangat mudah dipengaruhi oleh segala hal. Dengan begitu, seseorang akan mudah terbawa melakukan kebiasaan-kebiasaan yang sudah melekat di dalam lingkungan masyarakat sekitarnya.
Selain kondisi lingkungan, Mahesa juga menuturkan bahwa kondisi geografis dapat menjadi pengaruh budaya jam karet. Situasi seperti macet atau beberapa hal lain menyebabkan seseorang ditandai sebagai orang ngaret. Namun, menurutnya permasalahan dalam keterlambatan ini akan selesai apabila adanya komunikasi yang baik.
“Budaya itu prinsipnya tidak tunggal tapi hasil dari pola pikir manusia. Seperti dalam menghargai waktu, masyarakat Jepang bisa sangat disiplin, sangat sehat dan mengerti suatu tekanan karena sudah memiliki prinsip itu.” Ungkapnya saat ditemui di Gedung Komunitas Celah Celah Langit (CCL) pada Minggu (26/02).
Efek Domino Budaya Jam Karet
Semakin berkembangnya budaya jam karet di kalangan masyarakat juga memberikan dampak yang signifikan bagi kehidupan seseorang. Tidak hanya perubahan persepsi, budaya jam karet juga akan berdampak pada kualitas diri. Dinda mengatakan budaya jam karet akan mempengaruhi proses manajemen waktu yang akan menimbulkan efek jangka panjang.
“Kalau dalam ranah mahasiswa, karena manajemen waktunya buruk maka efek jangka panjangnya ketika bersinggungan dengan pekerjaan atau berkeluarga nanti, karena dasarnya mereka tidak terbiasa membangun diri yang disiplin.” Ucapnya.
Mahesa juga mengatakan bahwa secara sosiologis budaya jam karet akan berdampak bagi masa depan. Hal tersebut akan berpengaruh pada sektor-sektor suatu bangsa, seperti sektor penghasilan, pekerjaan, hingga kualitas diri seseorang.
Oleh karena itu, manajemen waktu dan mengubah persepsi waktu menjadi kunci penting menghapus budaya jam karet. Waktu tidak dapat dipandang fleksibel, karena tidak dapat diputar ulang.
Selain kedua hal diatas, konsistensi juga berperan penting agar seseorang dapat terbiasa tepat waktu. Jadi, mengubah persepsi dan manajemen waktu saja tidak cukup, perlu konsistensi untuk mencapai keberhasilan.
Dari sisi Psikiatri sendiri, hingga saat ini belum ada penanganan pasti atau obat-obatan untuk menghilangkan budaya jam karet. Namun, Veranita sebagai Psikiater Anak dan Remaja memberikan alternatif untuk mengatasi perilaku ngaret yaitu dengan cara terapi perilaku dalam waktu dua minggu.
“Jika dipaksakan dan dibiasakan selama waktu dua minggu maka akan mengubah stigma dan kebiasaan dengan sendirinya karena sudah terbiasa.” Jelasnya.
Ia juga menambahkan jika untuk mengatasi budaya jam karet sangat diperlukan peran orang tua. Hal itu agar kebiasaan buruk sejak kecil tidak terbawa dan mengakar ketika dewasa.
Sementara itu, Budi Dalton juga mengungkapkan salah satu solusi untuk mengatasi jam karet adalah perilaku saling menghargai yang harus diterapkan kembali pada anak-anak maupun mahasiswa. Hal itu bisa dengan melihat kebiasaan leluhur atau nenek moyang yang dikenal lebih menghargai waktu.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat ditarik kesimpulan jika tidak ada obat pasti untuk menangani budaya ini. Hanya usaha dari dalam diri dan konsistensi yang dapat dilakukan. Selain itu, perilaku menghargai orang lain dan menghargai waktu sedari dini bisa dilakukan untuk mengatasi budaya jam karet.
Reporter: Adelia Nanda Maulana, Fikri Rizal Naufal, & Sausan Mumtaz Sabila
Penulis: Fikri Rizal Naufal
Editor: Melani Sri Intan