Film sebagai Media Populer Penyampai Nilai-nilai Terselubung

Ilustrasi orang yang sedang menonton film propaganda Hitler. (Ilustrasi: Fikri Fadilah/SM)

 

Tidak ada satupun film yang hampa tanpa membawa pesan di dalamnya. Setiap film pasti selalu memiliki nilai untuk disampaikan, baik secara tersirat maupun tersurat. Pesan yang disampaikan pun cukup untuk mempengaruhi khalayak yang menonton. Sifat pembawa nilai tersebut mengakibatkan film kerap digunakan sebagai alat media propaganda pada praktiknya.  

 

Istilah propaganda dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai penyampaian pesan dengan tujuan meyakinkan orang agar mengikuti suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu. Hal serupa juga disampaikan oleh Dosen Politik Universitas Padjadjaran (Unpad), Ari Ganjar menyatakan, propaganda merupakan suatu upaya dari pihak tertentu untuk mencapai tujuan dengan cara menggalang dukungan dari masyarakat melalui media-media dengan pendekatan budaya. 

 

Dalam praktiknya, istilah “propaganda” ini sering dianggap memiliki konotasi yang negatif karena dinilai sebagai penyesatan pemikiran seseorang. Padahal menurut Dosen Hubungan Internasional Universitas Pasundan (Unpas) Bandung, Kunkunrat menegaskan propaganda itu tidak selalu berkaitan dengan hal yang negatif.

 

“Sebetulnya propaganda yang negatif itu adalah propaganda yang bertentangan dengan  hukum internasional. Sedangkan, propaganda yang ada dalam koridor-koridor yang tidak bertentangan dengan hukum internasional itu, sah-sah saja. Propaganda itu membahas nilai, tapi kalau kontennya memperlihatkan sesuatu yang tidak fake, propaganda itu lebih ke mengiring pendapat.” Ujarnya saat diwawancarai di Gedung Rektorat Unpas pada Selasa (21/2).

 

Selain melalui film, unsur propaganda dapat disusupi melalui media lain. Pada makalah berjudul "Kasus Propaganda Media di Indonesia dan di Dunia Internasional Beserta Dampaknya" yang ditulis oleh Fajar Sidik, disebutkan ada beberapa media yang dapat digunakan sebagai alat propaganda seperti majalah, tabloid, buku, televisi, internet, dan media lainnya.

 

Dari beberapa media yang dapat disusupi oleh propaganda, film menjadi salah satu media  paling efektif dalam menyebarkan propaganda. Kemampuannya dalam menyampaikan pesan langsung lewat gambar, dialog, dan lakon menjadikannya medium yang paling cerdik untuk menyebarkan misi, gagasan, dan kampanye, bertema apapun itu. 

 

Dilihat dari efisiensi tersebut, Dea Angga Maulana Prima dalam jurnalnya yang berjudul “Analisis Isi Film The Platform” menjelaskan film dapat menjadi media pembelajaran yang baik bagi penonton. Oleh karena itu film tidak semata menghibur. 

 

Film Propaganda dalam Sejarah 

 

Catatan kelahiran film propaganda dalam sejarah tidak lepas dari gejolak politik yang terjadi di suatu negara. Salah satu contohnya yaitu film berjudul Triumph of the Will tentang pemimpin Nazi Jerman, Adolf Hitler.

 

Film Triumph of the Will dengan tegas mempropagandakan semangat kembalinya Jerman Raya setelah kehancuran akibat Perang Dunia (PD) I. Film ini merupakan proyek penghancuran Nazi atas orang Yahudi yang dibuat pada tahun 1935 oleh Leni Riefenstahl.

 

Di Indonesia sebenarnya juga memiliki film yang terindikasi mengandung unsur propaganda yaitu “Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI”. Salah satu karya sutradara Arifin Chairin Noer ini sukses menjadi buah bibir di berbagai kalangan.

 

Walaupun kritik terus membanjiri salah satu film termahal tanah air kala itu, ia tetap laris manis di pasaran hingga menembus 699.282 penonton pada tahun 1984. Hingga akhirnya sukses membuat banyak masyarakat yakin jika PKI merupakan dalang dari Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/ PKI). 

 

Padahal peristiwa dalam film ini merupakan bentuk propaganda politik yang dilakukan oleh rezim orde baru. Seperti dijelaskan oleh Mirnawati dkk. dalam jurnalnya yang berjudul “Film dan Propaganda Politik (Studi atas Film G-30S/PKI dan Jagal)”, film ini menggambarkan  bahwa  PKI adalah musuh  negara  dan  berusaha  untuk  menggulingkan  pemerintah.

 

Ia juga menjelaskan tujuh instrumen-instrumen propaganda yang digunakan dalam penelitian. Hasilnya, dapat disimpulkan film ini berhasil menjadi instrumen propaganda politik dengan menggunakan sebuah adegan gerak tubuh seperti pembunuhan, pengeroyokan, penyerbuan, kejahatan terbuka, menampilkan narasi di layar ataupun penjelasan gambar diorama dari narator.

 

Bahkan, pada satu kesempatan pemeran Soeharto dalam film Pengkhianatan G30S/PKI, Amoroso Katamsi ketika diwawancarai oleh Tempo.co pada 30 Desember 2012 lalu mengatakan film ini menggambarkan peran PKI pada masa itu dan muatan politik yang ada di dalamnya. Menurutnya memang ada beberapa adegan yang berlebihan.

 

Melihat besarnya dampak dari dua film di atas, terbukti penggunaan film sebagai media propaganda sangat berpengaruh terhadap penontonya. Lagi, Dea Angga Maulana Prima dalam jurnalnya menegaskan keefektifan tersebut terjadi karena film mampu bercerita banyak dalam waktu yang singkat.

 

Senada dengan Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (Unisba), Alex Sobur yang setuju akan keefektifan film media propaganda. Menurutnya, film merupakan iklan yang sangat halus, karena itulah orang yang menontonnya akan mudah terpengaruh.

 

Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa film merupakan sarana untuk menyampaikan pesan penting kepada penontonnya dengan cara yang menghibur dan menyenangkan. Mulai dari pengambilan gambar, efek suara, tata cahaya, hingga pemilihan color grading untuk mendramatisir suatu adegan. 

 

Selaras dengan Alex, Ketua Regu Pengamat Serial dan Film Televisi Forum Film Bandung (FFB), Raja Lubis saat ditemui di markas FFB pada Minggu (19/2) mengatakan bahwa film ampuh dalam menyampaikan pesan karena disuguhkan melalui audio visual sehingga lebih mudah dicerna. “Zaman sekarang literasi baca buku tuh udah rendah, soalnya sejak mengenal film jujur saya juga jadi jarang baca buku.” Tambahnya.

 

Lebih lanjut lagi, dampak dari film ini dapat menyentuh berbagai kalangan, salah satunya mahasiswa. Dampak film sebagai media propaganda bisa saja terjadi pada kalangan mahasiswa, bahkan terkadang tanpa mereka sadari.

 

Seperti mahasiswa Fakultas Teknik Unisba angkatan 21, Krisna Riyadi yang tidak menyadari bahwa film mampu berpengaruh terhadap dirinya. “Sebenarnya film itu salah satu cara cerdik dalam menyebarkan propaganda karena jaman sekarang film banyak di konsumsi khalayak.” Tuturnya saat diwawancarai pada Kamis (9/3).

 

Namun disisi lain, Ari Ganjar justru memiliki pandangan lain. Menurutnya idealnya film propaganda tidak mempengaruhi mahasiswa, sebab kalangan mahasiswa seharusnya sudah bisa berpikir kritis dan tidak menelan mentah-mentah suatu informasi.

 

“Menurut saya mahasiswa itu sudah dibekali dengan pengetahuan, sudah terlatih untuk mengkritisi, serta berpikir kritis dimana semestinya tidak termakan mentah-mentah oleh propaganda. Justru mahasiswalah yang seharusnya mengkritisi dan memfilter dampak negatif propaganda kepada masyarakat.” Jelasnya.

 

Sudut lain dalam memandang kehidupan mahasiswa akan berbeda dalam beberapa pandangan tiap orang. Satu sisi ada yang berpikir bahwa mahasiswa mampu menyesuaikan dirinya dan sebaliknya.

 

Penggunaan film sebagai media propaganda tentu akan berdampak pada pola pikir mahasiswa sekali pun. Sebab film begitu banyak digunakan mahasiswa baik sebagai media hiburan, maupun penelitian.

 

Menurutnya, dalam film pasti akan membawa sebuah pesan ideologi karena film tidak pernah bergerak dalam ruang kosong. Pola pikir mahasiswa juga akan dipengaruhi oleh penggunaan seni artistik, seni musik, seni suara, bahkan efek-efek visual dalam penggunaan computer generated imagery (CGI) di dalamnya.  

 

Alternatif Menikmati Film Propaganda

 

Pengaruh yang dapat terjadi setelah menonton suatu film baik secara sadar maupun tidak sadar tentunya akan lebih baik ketika disadari oleh penontonnya. Maka dari itu, perlu kesadaran yang baik dalam menyikapi sebuah film agar tidak terpengaruh oleh hal negatif. Upaya menyikapi film sebagai media propaganda bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya yaitu dengan tidak menelan mentah-mentah suatu film. 

 

Selain itu, Alex Sobur juga menyatakan agar bisa menyikapi film propaganda adalah dengan memperbanyak literasi mengenai film. Ia percaya, dengan memahami dunia perfilman akan lebih mudah untuk menyikapi film propaganda.

 

Senada dengan Alex, salah satu mahasiswa Fakultas Hukum Unisba angkatan 22, Adila Nurhakimah mengatakan seharusnya  mahasiswa harus bisa memilah film yang baik dan buruk. “Sebagai mahasiswa kita harus bisa memilih film yang ada unsur negatifnya, memilih mana yang baik mana yang enggak gitu.” Tuturnya saat diwawancarai pada Senin (13/3).

 

Kemudian upaya menyikapi film propaganda juga diungkapkan oleh salah satu mahasiswa Fakultas Dakwah Unisba angkatan 19, Muhammad Rhamdani mengatakan jika menonton film tentang propaganda cukup diketahui saja dan jangan sampai terbawa pengaruh negatif film tersebut. Ia mengatakan bahwa menonton film hanya sebatas sebagai hiburan atau refreshing saja.

 

Dengan mengetahui film bisa dijadikan sebagai media propaganda, seharusnya penonton bisa menyikapinya dengan bijak. Sehingga saat menonton tidak mudah terpengaruh dengan pesan yang disampaikan.

  

Reporter: Sekar Kumala Suci & Fikri Fadillah

Penulis: Fikri Fadillah

Editor: Syifa Khoirunnisa