Bayang Kapitalisasi di Balik Nama Perguruan Tinggi

“Pendidikan adalah tanggung jawab sakral negara bagi perkembangan masa depan.”

Begitu ucap Wakil Presiden Indonesia ke-11, Boediono dalam Rembuk Nasional Kebudayaan dan Pendidikan tahun 2013. Pendidikan memang seharusnya menjadi tanggung jawab negara, sebagaimana tertulis dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat yaitu “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Sayangnya, akses pendidikan di Indonesia justru tidak ramah.

Hingga saat ini banyak masyarakat Indonesia yang tidak bisa mengenyam pendidikan dengan berbagai alasan. Dari data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 2019 menunjukan ada sekitar 4,3 juta atau 54% siswa di Indonesia mengalami putus sekolah karena alasan ekonomi. Hal tersebut disebabkan oleh mahalnya biaya pendidikan, khususnya di perguruan tinggi.

Situasi diperburuk dengan adanya kesepakatan internasional perdagangan jasa atau General Agreement On Trade And Service (GATS). Dalam kesepakatan tersebut, pendidikan menjadi salah satu dari 12 komoditas jasa yang dapat diliberalisasi dan diperdagangkan. Sebagai salah satu anggota World Trade Organization (WTO), tentunya Indonesia turut membuat kebijakan-kebijakan yang merujuk pada ketentuan WTO.

Sayangnya kebijakan tidak sebijak itu, sebab kesepakatan yang dibuat dalam GATS tidak memberikan syarat bagi pemilik modal, sehingga dalam praktiknya mengandung prinsip-prinsip liberalisasi di sektor pendidikan. Terus kenapa jika ada liberalisasi dalam pendidikan?

Ideologi yang berawal dari konsep modernisasi barat ini merupakan pengakuan sepenuhnya terhadap kebebasan individu. Dalam jurnal M. Tajudin Nur yang berjudul “Visi Ilmu Pendidikan” menjelaskan bahwa liberalisasi memberikan kebebasan dan keleluasaan individu untuk melakukan suatu tindakan. Namun, seiring perkembangan zaman paham tersebut menjadi tidak terkendali, mereka menganggap dapat mengontrol dirinya sendiri tanpa intervensi pihak lain.

Dalam dunia pendidikan, kebebasan diperlakukan secara bebas, baik dari segi ideologi maupun ekonomi. Investor manapun dapat menanamkan modal, mengatur sistem sesuai keinginan dan mendapatkan keuntungannya. Hal-hal tersebut kemudian disebut sebagai kapitalisasi pendidikan.

Secara terminologi kapitalisme adalah suatu paham yang meyakini pemilik modal dapat melakukan usahanya dengan bebas untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Bagi kapitalisme tidak ada pembatasan dari negara untuk warganya dalam memiliki aset pribadi. Hal tersebut memicu terjadinya akumulasi modal pada perorangan.

Pendidikan saat ini telah terjebak dalam arus kapitalisasi dengan adanya liberalisasi di dalamnya. Arus ini diperkuat oleh Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2012 pasal 64 ayat 3 tentang perguruan tinggi memudahkan investor dengan bebas menanamkan modalnya di sektor pendidikan.

“Otonomi pengelolaan di bidang non akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan: a. organisasi; b. keuangan; c. kemahasiswaan; d. ketenagaan; dan f. sarana prasarana.” Begitu bunyinya.

Pemberian otonomi tersebut menunjukan bergesernya tanggung jawab negara terhadap pendidikan. Saat ini banyak perguruan tinggi memberikan kebebasan kepada pihak lain untuk menanamkan modal akibat kurangnya subsidi dari pemerintah bagi kebutuhan perguruan tinggi.

Dampak Kapitalisasi Pendidikan

Sadar atau tidak, hadirnya sekolah berstandar internasional untuk masyarakat menengah ke atas sudah cukup membuat sekat berdasarkan status sosial dan ekonomi. Bahkan disebutkan dalam jurnal Kapitalisme Pendidikan, mahalnya biaya pendidikan menjadikan pendidikan yang bermutu semakin jauh dari jangkauan masyarakat menengah ke bawah.

Tidak hanya tentang status ekonomi dan sosial, tapi juga penanaman narasi masyarakat tidak berpendidikan maka akan sulit mendapatkan pekerjaan yang baik. Konsep kapital melekat pada sebagian orang tua. Mereka berpikir bahwa pendidikan untuk anak adalah investasi dengan return jabatan dan kekayaan.

Narasi ini terus berkembang salah satunya melalui beberapa kebijakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang  mengkolaborasikan dunia pendidikan dengan dunia industri. Misi pencetak kelas pekerja ini sekilas terdengar menarik, namun menurut Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji kebijakan tersebut bertolak belakang dengan fungsi pendidikan yang seharusnya lebih mengedepankan pengembangan ilmu pengetahuan.

Disisi lain Yuhka Sundayana salah satu dosen ekonomi pembangunan Universitas Islam Bandung (Unisba) memiliki pandangan berbeda. Baginya kapitalisasi pendidikan justru memiliki dampak positif bagi mahasiswa. “kapitalisasi ini akan membantu mahasiswa dalam melembagakan sikap, etika, pengetahuan dan keterampilannya, maka IQ dan SQ-nya akan meningkat”. Jelasnya melalui pesan daring pada Kamis (10/03).

Menurutnya kapital diibaratkan sebagai benda yang menghasilkan maslahat (kebaikan) apabila digunakan sebagai sarana untuk menunjang pembelajaran. Namun, bisa menjadi mudharat (kejelekan) apabila digunakan untuk selain keperluan pembelajaran. Oleh karena itu, perihal dampak yang dihasilkan bergantung pada pengguna benda tersebut.

Lain halnya dengan Rektor Unisba, Edi Setiadi memandang kapitalisasi dalam pendidikan dimaksudkan sebagai perbaikan tata kelola perguruan tinggi. “Menurut saya kapitalisasi yang dimaksud yaitu perbaikan tata kelola supaya terdapatnya good governance dan transparansi dalam pengelolaan perguruan tinggi”. Ungkapnya ketika diwawancarai pada Senin (07/03).

Menurutnya kapitalisasi memberikan dampak positif bagi kampus dan mahasiswanya agar lebih disiplin, tertib serta terstruktur. Namun, kapitalisasi ini bisa berdampak negatif pula, yaitu kampus menjadi kehilangan rasa humanisme atau kemanusiaannya.

Kapitalisasi Pendidikan dari Sudut Pandang Islam

Islam telah memberikan tujuan jelas pendidikan sebagai ibadah manusia. Fu’ad Arif, dalam jurnalnya yang berjudul “Islam Dalam Perspektif Pendidikan” menjelaskan pendidikan adalah suatu proses membina seluruh potensi manusia sebagai makhluk yang beriman, bertakwa, berpikir dan berkarya untuk kebaikan diri dan lingkungannya.

Selain sangat penting, Allah SWT pun memuliakan orang-orang yang berilmu. Sebagaimana firmannya dalam Al-Mujadilah ayat 11 yang artinya “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”

Berbicara mengenai ilmu, seorang pengajar Ilmu Agama Islam di Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) Deeniyat Baiturrahman, N. Liesda Kurniaty mengemukakan terdapat 6 syarat yang harus dipenuhi oleh para penuntut ilmu. Syarat-syarat yang dimaksud yaitu kecerdasan, kesungguhan, kesabaran, bekal atau biaya yang cukup, bimbingan guru dan menuntut ilmu dalam waktu yang lama.

Dalam konteks kapitalisasi pendidikan, bekal yang dimaksud adalah perlu adanya biaya yang dikorbankan dalam menuntut ilmu. Meski begitu, dana yang dikeluarkan harusnya bersifat relatif. Menurutnya Islam tidak membenarkan adanya pemusatan kekayaan oleh sebagian kelompok, seperti yang digunakan dalam sistem kapitalisme.

“Islam tidak memerintahkan umatnya untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, terutama dalam dunia pendidikan karena hal tersebut termasuk ke dalam perbuatan riba yang diharamkan dalam Islam”. Tuturnya ketika diwawancarai pada Kamis (03/03).

Salah seorang dosen Tafsir di Universitas Islam Bandung, Ida Afidah menjelaskan riba adalah suatu tindakan mengambil keuntungan yang berlipat-lipat. Hal tersebut diharamkan oleh Allah SWT karena konsep yang dijalankan merugikan salah satu pihak. “Konsep yang dijalankan oleh riba itu melebihi diluar batas standar dan tidak memiliki aturan, sehingga akan menjadikan orang yg menggunakan jasa riba itu menjadi lemah dan semakin sengsara.” Jelasnya.

Ia menambahkan, dalam perniagaan Islam sangat menjunjung tinggi keadilan dan keberkahan. Harus ada keseimbangan modal dengan keuntungan, dimana hal tersebut berbanding terbalik dengan konsep kapitalisme yang menjunjung modal rendah dengan keuntungan yang tinggi.

Perbandingan tersebut menunjukan jika konsep kepemilikan yang ada dalam kapitalisme sangat bertolak belakang dengan konsep kepemilikan dalam Islam. Muhammad zaki dalam jurnalnya yang berjudul “Kepemilikan Individu Menurut Islam” menjelaskan jika Islam memberikan keseimbangan antara modal dan keuntungan yang diambil sehingga tidak merugikan salah satu pihak.

Unisba Sebagai Perguruan Tinggi Islam

Sebagai perguruan tinggi Islam, Unisba menerapkan sistem dan kurikulum yang berlandaskan Islam. Ketua Yayasan Unisba, Miftah Faridl menjelaskan Unisba berbeda dengan perguruan tinggi pada umumnya, disini ada implementasi ilmu keagamaan dengan wajib pesantren mahasiswa dan penyisipan nilai agama dalam mata kuliah umum.

“Unisba punya beberapa SKS keagamaan dan ada pesantren yang merupakan usaha kita untuk memperbanyak jam pendidikan yang berkaitan dengan agama.” Tuturnya ketika diwawancarai pada Kamis (17/03).

Strategi Kurikulum Unisba ini diamini oleh salah satu mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) angkatan 2018, Rifan Shodikin yang merasa adanya kewajiban pesantren mahasiswa dapat membantu pemahaman mahasiswa terkait keislaman. Menurutnya program tersebut strategi yang bagus agar mahasiswa mau belajar dan paham tentang keislaman.

Tapi tidak dengan mahasiswa Fakultas Ilmu Psikologi (FPSI) angkatan 2019 yang namanya diinisialkan  MF, baginya SKS keagamaan adalah sebuah paksaan untuk mahasiswa belajar tentang agama. Kewajiban tersebut tidak masuk akal karena terkesan memaksa sedangkan dalam nilai-nilai agama Islam tidak ada yang namanya paksaan.

Selain itu, MF menilai mata kuliah keagamaan tidak efektif untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap agama. “Kalau masalah agama kita gak bisa dikasih tahu dan dipaksa, karena itu harus dari diri sendiri dulu tumbuh rasa ingin tahunya.” Tegasnya.

Selain kurikulum, pemilihan kata infaq dalam istilah pembayaran juga menjadi buah bibir. Seorang mahasiswa Fakultas Syariah angkatan 2019, Jajang Saepul Hamzah menganggap penamaan infaq di Unisba tidak sesuai dengan makna infaq yang terbebas dari paksaan dan ketentuan.

“Saya juga mempertanyakan kenapa penamannya harus infaq, karena yang saya pahami infaq itu tidak ada unsur paksaan dan tidak ditentukan nominalnya.” Ungkap Jajang. 

Menanggapi hal tersebut, Miftah menjelaskan bahwa infaq adalah bentuk pemberian seseorang kepada lembaga atau hal-hal sosial untuk kepentingan konsumtif. Sehingga, infaq berbeda dengan shadaqah.

Meskipun dinamakan Infaq, harga yang sudah ditentukan tersebut mengalami kenaikan dalam 3 tahun terakhir. Ia menjelaskan kenaikan terjadi untuk memenuhi kebutuhan kampus agar sesuai dengan ketentuan pemerintah. “Kenaikan itu saya bahas dengan rektor atau warek II, hal tersebut diharapkan untuk memperluas kampus agar bisa memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah”. Tuturnya.

Wakil Rektor (Warek) II , Atih Rohaeti Dariah menjelaskan seluruh dana yang diterima dari mahasiswa masuk ke yayasan. Kemudian sebagian dana tersebut akan dikelola olehnya dan disalurkan seluruhnya untuk kegiatan Tridharma, seperti pendidikan, penelitian dan pengembangan.

Dana yang disalurkan untuk proses belajar mengajar, proses akreditasi dan proses penjaminan mutu tersebut menimbulkan pertanyaan antara kesesuaian fasilitas yang didapat oleh mahasiswa dengan biaya yang dikorbankan. Mulai dari sistem belajar daring dan fasilitas kampus lainnya.

Seperti menurut salah satu mahasiswa Fakultas Hukum (FH), Darlingga Prasetio sistem yang dikelola unisba masih ada kekurangan yang berdampak bagi mahasiswa. “Yang saya rasakan, sistem Unisba belum sepenuhnya baik, seperti e-learning yang terkadang mengalami kendala ketika ujian, sehingga hal tersebut berdampak bagi mahasiswa.” Ungkapnya pada Rabu (02/03).

Tidak hanya Darlingga, Iqbal salah satu mahasiswa Fakultas Dakwah (FD) berharap adanya peremajaan ruangan yang digunakan dalam menunjang kegiatan mahasiswa. Seperti beberapa ruangan sekretariat yang sudah lama ditelantarkan dan tidak dipakai.

Tidak hanya soal ruangan, seorang mahasiswa Fakultas Teknik (FT) yang ingin namanya dirahasiakan juga  berharap adanya evaluasi untuk tempat parkir mahasiswa yang sempit. “Seharusnya tempat parkir yang dievaluasi, bukan dibangun gedung baru untuk dosen, meskipun depan gedung ada lahan parkir tapi apakah mahasiswa bisa parkir disana.” tuturnya.

Menanggapi hal tersebut, Miftah mengatakan pihak yayasan masih berusaha untuk memperbaiki kualitas pelayanan dan pendidikan. Namun, menurutnya kesesuaian tersebut tidak bisa ditentukan oleh dosen atau pihak universitas saja, akan tetapi dari mahasiswa pun harus ikut bekerja sama dengan memelihara fasilitas yang telah disediakan.

Pewarta: Pilar Raditya Pratama Ar Rahman, Fatmah Al-Hulaibi, Neska Nabilla Chaerunissa, & Melani Sri Intan
Penulis: Melani Sri Intan
Editor: Tsabit Aqdam Fidzikrillah & Sophia Latamaniskha